Meningkatnya intensitas serangan udara Israel gencatan senjata memicu keprihatinan internasional kepada Palestina. Pasalnya, kedua belah pihak sudah sama-sama menyepakati gencatan senjata dua bulan yang lalu, memastikan tak ada serangan yang digencarkan sebelum hingga sesudah bulan Ramadan pada Maret 2025. Namun, alih-alih meredakan situasi dan memberikan rasa aman dan nyaman untuk Palestina, terutama jalur Gaza, gencatan senjata yang berlaku hanya berlalu bagai angin lalu. Tampaknya, Israel tak mengizinkan warga sipil Palestina untuk mendapatkan jaminan keamanan.
Serangan Udara Israel Gencatan Senjata Memicu Gelombang Pengungsian Terbesar
Pada April 2023, Reuters melaporkan bahwa ratusan ribu warga Gaza kembali mengungsi dari kamp lama. Hal tersebut dikarenakan adanya ancaman serangan udara Israel gencatan senjata. Tak memiliki titik aman untuk sekedar tinggal, warga Gaza terbiasa berpindah dari satu tempat menuju tempat lainnya. Mereka melakukan itu demi mencari tempat yang dirasa lebih aman dari ancaman. Laporan terakhir menyatakan bahwa kamp pengungsian berpindah ke wilayah Rafah. Mirisnya, kota yang disebut-sebut sebagai “zona keamanan” tersebut kembali menjadi target serangan Israel.
Pelanggaran Gencatan Senjata Picu Pengusiran Paksa Warga Sipil
Menurut laporan Al Jazeera pada 4 April 2025, Israel kembali melakukan pengusiran kepada warga sipil. Sebelumnya, selama masa gencatan senjata berlangsung yang mana tak memungkinkan Israel melakukan serangan di Gaza, Israel menargetkan pengusiran di Tepi Barat Gaza.
Pengusiran yang berlangsung tentunya memperburuk kondisi para warga yang sudah mengalami krisis di berbagai aspek, termasuk pangan dan air bersih. Bagaimana mereka dipaksa untuk bertahan? Jika fakta menunjukkan bahwa sejak awal mereka memang sibuk bertahan di tengah masa sulit, terlebih di masa maraknya serangan udara Israel gencatan senjata.
Dampak Kemanusiaan: Anak-Anak Yatim dan Krisis Pangan Akut
Hingga 4 April 2025, tercatat sekitar 39,389 anak di Gaza yang menjadi yatim piatu akibat orang tua yang syahid akibat serangan yang digencarkan Israel. Selain kehilangan keluarga, anak-anak juga ditinggalkan tanpa adanya pembekalan demi masa depan. Sehari-hari, mereka menghadapi kehilangan baru yang lebih besar dari sebelumnya. Untuk berjuang pun terasa tak mudah, sebab krisis kemanusiaan kian parah setiap harinya.
Serangan Udara Israel Gencatan Senjata yang Tiada Henti
Bertepatan dengan Hari Raya, setidaknya 100 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan terbaru, dengan 32 korbannya yang masih anak-anak. Data ini mempertegas bahwa serangan udara Israel terus menjadi ancaman berkala bagi Palestina.
Di hari kemenangan yang seharusnya menjadi momen hangat dengan kerabat dan orang terkasih, warga di Palestina hanya bisa merintih kesakitan selagi dirundung pilu. Padahal, besar harapan mereka bisa menikmati Hari Raya tahun ini penuh rasa aman dan kenyamanan. Namun, hal tersebut terpaksa menjadi angan semata sebab kenyataan pahit yang masih menjadi penderaan utama bagi warga Palestina.
Hingga saat ini, meskipun berbagai pihak internasional telah menyuarakan penghentian kekerasan, rupanya tak cukup bagi warga Palestina. Ke depannya, terus diperlukan dukungan berkelanjutan agar serangan dalam bentuk apa pun dapat dihentikan sepenuhnya. Sebab, dengan terus terjadinya pelanggaran dan lemahnya tekanan global, keadilan dari buah kesepakatan demi melindungi hak asasi manusia akan terus jauh untuk diwujudkan.
Tanpa Perlindungan dan Dukungan Nyata, Palestina Tak Bisa Berbuat Banyak
Kondisi Gaza terkini menunjukkan bahwa kesepakatan gencatan senjata saja nyatanya belum cukup untuk menjamin keamanan hidup bagi warga Palestina. Faktanya, serangan udara Israel gencatan senjata masih berlangsung di berbagai titik. Serangan menargetkan kamp pengungsian dan masjid sebagai target sasaran utama.
Di tengah krisis yang terus berlangsung, warga sipil termasuk anak-anak menjadi yang paling banyak menanggung kepahitan hidup. Tak hanya kehilangan masa depan, mereka juga kehilangan banyak kesempatan untuk sekedar bertahan demi menyambung hari esok. Sementara itu, seruan internasional untuk memerdekakan Palestina dan menjunjung tinggi terwujudnya hak asasi manusia masih dianggap sebagai gerakan formalitas tanpa makna.