Apakah Semua Anak Sudah Bisa Sekolah?

Semarak khas di hari kemerdekaan dapat dirasakan di sepanjang jalan. Anak-anak sibuk mengikuti lomba tujuh belasan dengan riang. Tak lupa, upacara pengibaran bendera dilaksanakan dengan khidmat. Namun, terdapat pertanyaan yang tampaknya masih sulit untuk dijawab dengan lantang, yakni; Apakah semua anak sudah bisa sekolah? Apakah semua anak di perkotaan maupun di pelosok sudah mendapatkan akses yang mudah untuk memenuhi hak belajar mereka? Sebagai generasi penerus bangsa, apakah mereka sudah cukup dibekali ilmu yang bermanfaat dan berperan untuk menyokong pembangunan negeri di masa depan?

Sayangnya, data menunjukkan angka yang masih jauh dari ideal. Fakta di masyarakat menunjukkan bahwa setidaknya 1 dari 20 anak terpaksa putus sekolah. Alasan yang mendasari cukup beragam, mulai dari faktor ekonomi hingga infrastruktur yang belum memadai. Maka, jawaban dari pertanyaan “Apakah semua anak sudah bisa sekolah?” adalah belum.

Disaat Bendera Berkibar, Masih Banyak Anak-Anak yang Belum Merasakan Kemerdekaan

Sekolah di perkotaan melaksanakan hari upacara bendera dengan berseragam rapi sambil melantunkan lagu nasional. Namun, masih banyak anak-anak di pelosok yang sulit untuk memaknai arti ‘merdeka’. Jangankan untuk merayakan upacara bendera, sebab kenikmatan belajar di kelas dan mengenakan seragam saja tak pernah terlintas di pikiran.

Sekilas, terkesan mudah untuk menghakimi anak-anak yang tak bersekolah dan lebih memilih untuk berdiam di rumah atau bekerja selagi membantu orang tua. Namun, tak semua anak hidup dengan pilihan yang baik. Banyak dari mereka yang hanya hidup untuk mengikuti alur nasib yang tersedia di depan mata.

Hak dasar seperti belajar dan merajut mimpi merupakan kelangkaan bagi anak-anak di pelosok. Meski bendera berkibar, tak ada esensi ‘merdeka’ yang mereka rasakan. Hari-hari berlalu dengan perasaan dan bentuk kerja keras yang sama; upaya untuk bisa melewati hari demi hari di tengah keterbatasan. Jika tak ikut berjuang demi recehan, maka anak-anak itu tak akan bisa merasakan makanan yang mengenyangkan perutnya.

Ketimpangan Kemerdekaan: Banyak yang Acuh Terhadap Pertanyaan, “Apakah Semua Anak sudah Bisa Sekolah?”

Bak terlena dengan kehidupan masing-masing, tak heran jika kehidupan di masyarakat kerap dipisahkan dengan dinding kesibukan. Hal itu membuat masyarakat tak saling melebur dan jauh dari aksi peduli antara satu sama lain. Alhasil, ketimpangan antara yang mampu dan yang kurang menjadi semakin terlihat.

Pertanyaan “Apakah semua anak sudah bisa sekolah?” hanya lewat seperti angin lalu, sama sekali tak menghadirkan urgensi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal, ketidakpedulian yang diberikan hanya memperburuk penderitaan mereka yang tak berkesempatan untuk memperoleh akses pendidikan.

Ketimpangan antara yang sibuk meraih mimpinya bersanding dengan mereka yang terpaksa mengubur mimpinya. Tak punya mimpi dan masa depan menjadi penderitaan tanpa jalan keluar. Bagaimana jadinya jika ketimpangan tersebut terus berlangsung? Akan jadi apa negara dengan masyarakat yang tumbuh dengan dua arah yang berbeda; penuh pilihan dan tanpa pilihan sama sekali.

Perjuangan Mereka untuk Memperoleh Hak Pendidikan

Data menunjukkan masih banyak anak-anak di pelosok yang belum bisa dikategorikan merdeka dalam memperoleh hak belajarnya. Berikut beberapa penyebab utamanya:

  1. Kemiskinan. Dengan keadaan ekonomi keluarga yang tak mendukung, pendidikan hanya dipandang sebagai beban lain dalam keseharian. Akibatnya, tak semua anak memiliki keinginan untuk melangsungkan perjalanan pendidikan.
  2. Akses sulit. Bayangkan jika anak-anak harus melewati medan curam dan berbahaya demi bisa sampai ke sekolah. Dari tanjakan hingga jalan setapak yang bersebelahan dengan sungai deras. Belum lagi jika musim hujan menyebabkan jalan berlumpur dan meningkatnya volume air. Dengan kata lain, anak-anak pelosok mengorbankan keselamatannya demi bisa hadir di kelas dan belajar. Pun jika sudah sampai di sekolah, mereka masih harus bergelut dengan fasilitas belajar yang seadanya.
  3. Tenaga pengajar yang belum memadai. Fenomena sekolah gratis tak menjamin proses pembelajaran yang maksimal bagi anak-anak di pelosok. Secara tidak langsung, hal ini membuat anak-anak kehilangan motivasinya dalam proses pembelajaran.

Dengan beberapa penyebab yang telah disebutkan di atas, kemerdekaan seakan menjadi simbol yang belum menyentuh maknanya. Sebab, berbagai kesulitan masih dirasakan anak-anak di pelosok negeri untuk mencapai proses pembelajaran yang dinilai efektif. Tak heran jika pertanyaan “Apakah semua anak sudah bisa sekolah?” masih memiliki jawaban yang sama dan menjadi salah satu dari permasalahan utama negeri ini.

Apa yang Bisa Diupayakan? Dari Mana Langkah untuk Memulai Perubahan?

Perjuangan untuk memulihkan keadaan dan menyediakan akses belajar yang pantas untuk anak-anak di pelosok tak harus dimulai dari pemerintah atau lembaga besar. Sebab, masyarakat juga bisa mengambil bagian.

Modal yang diperlukan untuk melahirkan perjuangan adalah dengan mengandung empati dan rasa peduli. Melalui langkah kecil, perubahan akan lahir seiring berjalannya waktu. Beberapa jalan untuk mewujudkan perubahan adalah dengan menjadi penyambung akses, pembangkit semangat, penyaluran bantuan dengan donasi rutin, hingga menjalin kolaborasi melalui gerakan sosial.

Mendekatkan diri dengan nilai gotong-royong adalah salah satu kunci untuk membuka akses pendidikan yang selama ini tampak mustahil bagi anak-anak di pelosok. Mari buat mereka percaya bahwa pendidikan dan proses meraih mimpi bukan merupakan sesuatu yang mustahil untuk didapatkan. Perlahan, anak-anak di pelosok akan memiliki mimpi di masa depan, menjadi seseorang yang bisa membawa dampak kemajuan untuk negeri ini, dan sepenuhnya berdaya untuk berdiri di kaki mereka sendiri. Tak kalah penting, mengupayakan makna kemerdekaan untuk negeri juga berarti dalam mengubah jawaban dari pertanyaan  “Apakah semua anak sudah bisa sekolah?”.

Leave a Comment